Sebuah Tinjauan tentang SANG PEMIMPI
"Jalan untuk menuju terwujudnya mimpi itu, tidak melulu mudah"
Setahun lebih jaraknya dari LASKAR PELANGI, film SANG PEMIMPI diluncurkan sebagai film Indonesia pertama yang membuka JiFFest. Film ini, sebagaimana yang sebagian besar kita tahu, diramu dari Novel karangan Andrea Hirata yang berjudul sama, sebagai bagian kedua dari suatu tetralogi. Saya sengaja tidak membaca novelnya dulu, karena pengalaman mengatakan: sering kita secara tidak adil menelisik tubuh film sebagai tidak sempurna menyampaikan pesan dari buku asalnya. Alasannya, banyak adegan yang (terpaksa) dihilangkan untuk merampingkan durasi, beberapa bagian dibuat berbeda dari aslinya demi melayani hasrat penonton untuk suatu dramaturgi yang indah, alur yang sejak dulu begitu mendikte temponya, mengurung imajinasi, dan sebagainya. Saya tidak mau menghakimi, makanya, saya tidak membaca novelnya dulu.
Cerita diawali dengan adegan Pak Seman, ayah Ikal, bersepeda dengan baju safari satu-satunya. Belakangan baru ketahuan bahwa dia hendak menjemput rapor semesteran sang anak. Belakangan juga baru ketahuan bahwa baju safari itu bahkan tidak dipakainya untuk menemui bupati, hanya untuk Ikal, anak kebanggaannya. Mengapa adegan ini menjadi pembuka film? Tentu saja bukan untuk menjadi pengenalan cast saja. Adegan ini, asumsi saya, diletakkan di awal, karena peristiwa penerimaan rapor itu membawa kita ke banyak bagian dari cerita ini. Ia membawa kita ke bagaimana sebuah mimpi mendorong seorang siswa SMA menggenjot prestasinya. Ia membawa kita ke bagaimana sebuah surat salah alamat menjadi awal kekecewaan seorang kuli kasar yang berharap promosi. Ia membawa kita kepada mimpi-mimpi yang tersendat menuju terwujudnya.
Arai, tersebutlah begitu namanya, adalah seorang tokoh baru dalam cerita. Ia adalah sepupu Ikal yang ditinggal mati ayahnya. Seperti narasinya, Ikal menceritakan betapa ia harusnya yang menghibur anak itu (atas dukanya) tetapi malah dibuat tersenyum bersamanya. Arai adalah tokoh sentral cerita ini, menurut saya. Dari dialah, Ikal akhirnya ketularan mimpi-mimpi muluk yang alhamdulillah akan terwujud. Arai-lah SANG PEMIMPI. Dialah yang mengajarkan Ikal, dan dalam beberapa tingkatan--saya, bahwa Mimpi adalah Nafas. Tanpa Mimpi, kita mati.
Saya tidak akan repot-repot menceritakan lagi kisahnya, karena sebagian besar kita sudah membacanya sampai khatam beberapa kali. Saya hanya akan sedikit berbagi apa yang saya dapat dari film ini. Tentu saja 128 menit tidak akan cukup membelajarkan kita akan apa itu mimpi. Tapi, cukuplah.
Ada tiga sosok yang membantu kita memahami yang namanya mimpi. Arai, yang mewakili bagian liar dari inspirasi. Ikal, yang menjaga kita tetap berpijak pada realitas. Jimbron, yang mengingatkan betapa indahnya kesederhanaan dan betapa berartinya memberi sayap kepada orang yang ingin terbang (sumpah, aku menyesal kehilangan adegan di mana dia memberikan celengan kudanya pada Arai dan Ikal saat akan ke Jakarta, gara-gara kandung kemih bodoh ini). Dinamika ketiganya menghasilkan harmoni yang indah dalam perjalanan menggapai mimpi.
Seorang guru bisa berperan besar dalam mendorong siswanya untuk menjadi jiwa yang besar. Tidak kalah besarnya juga mereka yang berkeras menjaga para siswa itu agar tetap pada koridornya. Kombinasi Pak Balia dan Pak Mustar dalam mengenalkan mimpi dan cita-cita dan dalam mengingatkan mereka bahwa jalan untuk mencapainya tidaklah mudah, sangat manis. Guru, adalah sutradara, ketika siswa-siswa itu masih aktor amatir yang punya impian terlalu besar dengan asumsi terlalu naif.
Secara garis besar, yang tersari dari film ini adalah bahwa mimpi itu adalah milik siapa saja. Mereka yang sudah 31 tahun jadi kuli, juga berhak bermimpi akan promosi. Mereka yang tumbuh dalam kemiskinan juga berhak bermimpi sekolah yang tinggi. Anak-anak berhak bermimpi jadi koboi, indian, ataupun kuda (LOL). Siapapun berhak mengimpikan apapun. Mimpi adalah napas. Begitu buah pikiran Arai, sebagaimana selalu diajarkan sang ayah sewaktu masih hidup. Mimpi tidaklah boleh dibatasi oleh kemampuan ekonomi, rentetan kesulitan, ataupun bahkan sebuah surat yang salah kirim. Orang yang punya mimpi, akan berusaha menggapainya. Setidaknya melangkah sedikit lebih maju ke arahnya dari tempatnya berdiri.
Seorang anak yang berjanji tidak akan mengecewakan ayahnya untuk kedua kalinya. Seorang pemimpi yang semangatnya tak pernah mati. Seorang pecinta kuda yang punya hasrat sederhana dan ketulusan luar biasa. Seorang guru yang setiap memulai pelajaran meminta muridnya memekikkan kata-kata pembangkit semangat. Seorang kepala sekolah galak yang sebetulnya punya harapan besar untuk semua muridnya menggapai impian tanpa takut kecewa. Seorang ayah yang berjuang, bangga, dan kecewa, nyaris tanpa kata-kata. Masing-masing setidaknya punya suatu impian. Mereka hidup. Mungkin dalam jiwa kita juga.
Mari bermimpi kembali!
<Rocketeer Ksatriansyah>