Minggu, 19 September 2010

Busway Guy Saga. Cerita tentang Rokok dan Hubungan

malam tadi.
dinyalakannya untukku sebatang rokok. rokok itu hanya setengah menyala, bagian bawahnya saja. aku bisa saja mengambil korek api dari tangannya, atau memintanya mengulang apa yang dia barusan lakukan. tapi tidak kataku dalam hati. ini yang dia berikan, and i have to make it work. jadi rokok itu kuisap sekuat tenaga sampai terbakar sempurna dua sisinya...

aku tercenung. ini sama dengan hubungan-hubungan yang selalu kujalani. pasanganku memberikan apa yang bisa dia berikan, lalu aku terkadang menyikapinya dengan tidak puas dengan itu, mengharap dia menyesuaikan diri dengan harapanku. lalu kejutan itu: hei, dia juga manusia, mungkin harapannya sama dengan aku: agar yg lain menyesuaikan diri dengannya... dan ini yg tampaknya adalah pangkal keretakan banyak hubungan.
tapi ketika kita benar-benar mencintai seseorang, you will want to make it work. you cry at his grieves, not try to make him uncry. you stay quiet beside him when he wants you there. you help when he asks.
mungkin banyak hal yang kau ingin dia lepaskan, tapi pernahkah bertanya seberapa arti itu baginya? kau benci dia merokok. OK. apakah kau lebih suka dia bermuramdurja di ruang tamu menyeruput teh tawar yang kau sajikan karena kau kira itu bisa menggantikan kegembiraannya? kau tak suka tinju, dan memintanya mencoba menikmati pertandingan dansa yang sama sekali tak ia mengerti.

banyak yang mencoba merubah pasangan mereka. dan mereka berhasil. pasangan mereka berubah. berubah menjadi sosok yang bukan mereka cintai sejak awal. lalu mereka sendiri bertanya-tanya ke mana perginya kekasih yang dulu mereka jatuhcintai??? oh betapa naifnya mereka. tak sadar apa yang sudah mereka lakukan...

aku kembali pada batang rokokku yang setengah terbakar. dia dengan karaokenya sesekali tersenyum padaku. dia bahagia. meski sekarang sudah tidak bersamaku, dia bahagia ada aku. akupun bahagia ada dia. aku tak peduli sudah apakah rokok ini terbakar atau tidak.
kuterima adanya dirinya. dengan atau tanpa pacarnya. atau pacarku. tak ingin kudia berubah. cukup. cukup seperti ini saja.


<rocketeer ksatriansyah.cilandak.020909>

Wajah-wajah Seni yang Kerap Ingin Kita Urai

Tulisan kali ini pendek. Tidak akan lebih dari 200 kata. Mungkin. Kalau kita tidak menghitung empat kalimat pertama yang nyaris tak penting ini.

Di atas adalah caraku mengungkapkan diri lewat tulisan, yang mengambil cara tak biasa. Kita bercakap dengan kata. Menulis laporan dengan kata. Mencipta novel dengan kata. Tapi, cara kita menyusun kalimat, tidak pernah serupa. Ada yang mengambil sisian lugas dari spektrum bahasa (kalau tidak mengerti dengan frase ini, yang kumaksud adalah: ada beberapa orang yang memakai gaya lugas dalam berbahasa), namun bukan sedikit yang menggemari bagian 'berteletele' dari spektrum yang sama. 

Kegiatan manusia didorong oleh dua hal: keinginan untuk bertahan hidup (makan, minum, komunikasi, tidur, seks) dan semua di luar itu. Dan semua di luar itu, adalah seni. Semua yang tidak menyentuh esensi bertahan hidup adalah seni. Semua yang kerap dianggap tidak penting oleh kacamata fungsional adalah seni.

Aku beberapa kali mengamati seni dan menemukan hal-hal berikut:

  1. seni pada hakikatnya memiliki beberapa bentuk dasar: rupa, gerak, suara, diksi, bau, rasa, dan waktu
  2. bentuk-bentuk baru lahir dari gabungan satu atau lebih bentuk dasar dari seni


Seni yang lahir HANYA dengan rupa adalah gambar: lukisan, sketsa, fotografi
Seni yang lahir HANYA dengan gerak adalah pantomim, senam, banyak olah raga
Seni yang lahir HANYA dengan suara adalah musik
Seni yang lahir HANYA dengan diksi adalah literatur: puisi, novel, prosa, pantun
Seni yang lahir HANYA dengan bau adalah perfumerie... seni yang sangat jarang disentuh oleh seniman...
Seni yang lahir HANYA dengan rasa adalah kuliner
Seni yang lahir HANYA dengan waktu adalah seni perang (jika itu bisa disebut seni), stratei pemasaran, beberapa permainan rakyat dan moderen.

Komik lahir dari pernikahan siri diksi dan gambar.
Lagu lahir dari kolaborasi diksi dan suara, dan timing (waktu) tentunya karena ada tempo di dalamnya.
Tari lahir dari hubungan intim musik dan gerak, dan tempo tentunya... kadang rupa diikutkan bila itu adalah tari yang melibatkan kostum yang indah
Sinema lahir dari pertalian rumit antara suara (film bersuara), rupa, tempo, diksi, dan gerak. Tentu saja kompleks.
Kuliner sendiri tak pernah bisa mandiri, dia selalu disertai persyaratan memiliki aroma yang benar, dan rupa yang menarik.

Mengapa tiba-tiba muncul ide untuk memetakan daerah asal para unsur seni ini??? Karena para pelaku seni sering merasa asing satu sama lain, merasa eksklusif dengan komunitasnya, merasa bahwa ia takkan lebur jika bergabung dengan unsur lain. Padahal mereka lupa, dorongan yang membuat mereka menciptakan banyak hal itu sama: segala sesuatu di luar keinginan betahan hidup.

Sungguh ini bukan kecaman. Bukan pula ajakan. Ini sekedar uraian. Apa yang saya lihat. Apa yang saya tangkap. Apa yang saya gatal ingin mengeluarkannya. Tunggu sebentar. (Yah, lewat 200 kata dehhh).

Saya belum hendak memerikan apa yang terjadi jika saya menyinggung manakala seni kawin kontrak dengan dunia di luar ia sendiri: FUNGSI. Lahirlah: furnitur, fesyen, elektronik, facebook, laporan keuangan, tagihan listrik, hingga surat peringatan dan analisa absen bulanan. Sungguh rumit. Dan remeh keberadaannya jika dipandang dari kacamata bertahan hidup. 

Sayang. Sedikit kita yang mau memandang tanpa kacamata bertahan hidup itu.

<Rocketeer Ksatriansyah>

Pecahkan Telurmu - Tunjukkan Rahasiamu

Rahasia. Yang membuat wanita, WANITA. 



Sering betul sudah frasa itu dipakai oleh banyak kita. Pertama kali aku pernah membacanya di sebuah episode cergam Detektif Conan. Tapi, rupa-rupanya, bukan monopoli kaum wanita saja dia itu... para lelaki juga senang betul menjadi misterius. Ah!



Kali ini, kajian kita tentang rahasia adalah: mengapa ia menjadi penting, kapan seharusnya ia tiada, dan tentang penghormatan kepada mereka yang memang belum siap untuk memecahkan telurnya. Yah. Telur! Yang isinya rahasia.

Esensi dari rahasia itu sebetulnya cuma sekeping harga diri (atau keselamatan). Yang kalau kita gerus habis, akan tampak rasa malu. Kadang juga rasa takut. Seorang pejabat tinggi selingkuh. Bila ia cukup punya harga diri, maka ia akan menjaga perselingkuhan itu tetap RAHASIA (meski ironisnya, perselingkuhan itu suatu simbol hilangnya harga diri). Ia tidak hendak mengabadikan adegan seronoknya dengan selingkuhan tersebut dengan video kamera. Kecuali ia terlalu bodoh untuk berpikir bahwa jaman sekarang informasi bocor dengan sangat mudah sekali banget. Seorang bocah dapat nilai nol. Ia tidak belajar. Ada dua masalah: satu, ia malu bila sampai teman-temannya tahu (karena teman-teman sang bocah bisa menjadi makhluk menjengkelkan yang takkan beri ampun mengejeknya hingga hancur rasa percaya dirinya); dua, ia takut jika ibunya tahu (kenapa bukan bapak, itu juga masih rahasia, tapi seorang ibu yang tahu ia tidak belajar (mungkin) menanggung rasa jengkel dua kali lipat lebih banyak karena ia merasa gagal memotivasi anaknya meraih prestasi). Seorang wanita punya kebiasaan ngupil. Dirahasiakannya. Ia malu. Seorang ibu-ibu Mal menyukai dangdut. Jangan sampai teman-teman sepenontonan Jazz-nya tahu. Ia malu. Seorang anak korban pelecehan seksual menutup mulutnya. Peristiwa lama membeku. Ia malu, dan takut karena sudah diancam akan dibunuh.

Jadi, rahasia memegang kunci kepada hancurnya harga diri atau hilangnya nyawa. Masih belum jelas? Masak sih?
OK... Dalam dunia mafia, sebagaimana yang kita lihat di filem-filem, kalau ada seseorang yang menyaksikan Don X membunuh walikota Y, maka secara terpaksa ia akan otomatis menjadi saksi. Ketika ia belum ke pengadilan, apa yang ia lihat seharusnya rahasia. Rahasia yang bisa mengubah hidup Don X menjadi teralis besi. Rahasia ini milik si Don X. Tapi juga milik si... ehm, katakan saja namanya Z. Rahasia ini membuat leher si Z di ujung tanduk, sekaligus membuat harga diri Don X di Ujung Kulon.

Kira-kira seperti itulah.

Ada jenis rahasia yang kita jaga atas nama prinsip. "Aku tak mau keluargaku tahu". Itu misalnya alasannya. Tapi apa rahasianya? Aku pelacur. Aku pedofil. Aku gay. Aku suka mengoleksi DVD Porno padahal aku Ustadz. Dalam kasus ini, sebetulnya, apa yang 'aku' ini rahasiakan, secara esensi bukan rahasia lagi, karena banyak yang sudah tahu. 'Aku' cuma menjaga jangan sampai rahasia ini sampai ke telinga: keluargaku, kekasihku, teman-temanku, geng pengajianku, guru-guruku, dan sebagainya.

Seharusnya, jika menyangkut siapa kita, alangkah indahnya jika tak ada yang perlu kita rahasiakan. Jika kita sendiri nyaman dengan adanya diri kita, saya percaya, itulah perasaan yang terpenting untuk kita lestarikan. Bukan menjaga perasaan orang tua. Bukan menjaga martabat keluarga. Saya berani berkoar: ibuku tetap ibuku jikalaupun dia tidak bisa menerima aku apa adanya, tapi pada saat itu juga ia memutuskan untuk berhenti menjadi ibu untukku. Kita seringkali takut akan mengalami penolakan. Padahal kita tak tahu, orang-orang yang tetap mencintai kita setelah telur itu kita pecahkan, adalah orang-orang yang sejati mencintai kita tanpa kepalsuan. mereka yang berubah sikap, well, pertanyakan integritas mereka terhadap hubungan apapun yang kalian miliki sebelumnya.

Rahasia selalu punya expiry date, tapi jarang dari kita yang tahu kapan membukanya kepada umum. Perselingkuhan yang terlalu dalam, sampai menghasilkan anak, sudah masuk masa kadaluarsanya. Harus segera diungkap ke publik. Semakin lama disimpan, akan semakin busuk. Jika sudah begitu, setidaknya akui dengan jantan, umumkan kepada publik. Minta maaf. Pasti banyak yang akan tersakiti. Setidaknya kita melakukannya dengan cepat. "Pull the Bandage".

Ada banyak contoh untuk mewakilkan sifat rahasia yang punya masa kadaluarsa... tapi saya kira anda lebih daritahu untuk mengajukannya sendiri.


Tidak semua orang selalu siap untuk mengungkap rahasianya. Ada yang bertahan menjadi orang diskret. Apa-apa rahasia. Ditanya kerja di mana. Ada deh! jawabnya. Di formulir pendaftaran, mulai dari nama sampai riwayat pendidikan diisi dengan "ask me". Ada yang demi prinsip, memutuskan bahwa harga diri yang mereka jaga, bila memang ada, jauh jauh jauh jauh lebih penting daripada kenyamanan yang selama ini mereka kais-kais di pelataran kehidupan. bersikap pada orang seperti ini, kita jangan mencemooh. Makhluk-makhluk diskret perlu kita hormati. Mereka jauh lebih mulia daripada mereka yang mengingkari jatidirinya. Mereka cuma menjaganya sebagai rahasia, tanpa niat untuk menipu kita dengan membuat kita berpikir bahwa mereka adalah apa yang bukan mereka.

Mengapa saya menulis ini? Apa kesimpulannya? tetap adakah kelanjutannya? Jujurkah saya menuliskannya? Semua masih RAHASIA!



<Rocketeer Ksatriansyah>


artikel ini juga tersedia dalam format Bahasa Inggris

Rendrology, and What the Name may Mean

Rendra | (français) bentuk indicatif futur simple untuk kata ganti orang ketiga tunggal (il/elle) dari verbe rendre | (il) rendra | sebuah kata unik yang punya banyak makna: (akan): membuat, menghasilkan, menunaikan, menerapkan, menyerahkan (PR), mengembalikan, menyatakan, membalas, menyerah, dsb. [what a wonderful name!]

rendra + adj.
akan membuat (sso) merasa (kt sft)

rendra l'âme
akan bernafas untuk terakhir kalinya... See More

rendra un culte à
akan memuja/mengkultuskan

rendra de la distance
akan menghadapi kesulitan (dalam hal jarak)

rendra gloire à
akan mengagungkan

rendra gorge
akan menebus kemenangan yang curang

rendra grâces à
akan memberi terima kasih kepada

rendra honneur à - rendra les derniers honneurs à
- akan menghargai - akan memberi penghargaan terakhir pada

rendra du poids (horse-riding)
akan mengalami kesulitan (dalam hal berat)

rendra des points
akan membiarkan org lain mulai duluan

rendra raison de qqch à
akan beralasan ttg sst

rendra service
akan sangat membantu

rendra service à qqun
akan membantu sso

rendra le soupir
akan menghembuskan nafas terakhir

rendre visite à qqun
akan mengunjungi

se rendra à
akan pergi ke

se rendra à l'appel de qqun
akan menjawab panggilan sso

se rendra à l'avis de qqun
akan mengikuti saran sso

se rendra compte de
akan menyadari/membayangkan

se rendra à l'evidence
akan menghadapi kenyataan

se rendra aux ordres
akan menuruti perintah

se rendra aux prières de qqun
akan memperoleh pujian dari sso

se rendra aux raisons de qqun
akan menghargai pendapat sso

Demikian makna dari penggunaan kata Rendra dalam kehidupan sehari-hari di Perancis.

<Rocketeer Ksatriansyah>

Bernafas dengan Mimpi

Sebuah Tinjauan tentang SANG PEMIMPI

"Jalan untuk menuju terwujudnya mimpi itu, tidak melulu mudah"

Setahun lebih jaraknya dari LASKAR PELANGI, film SANG PEMIMPI diluncurkan sebagai film Indonesia pertama yang membuka JiFFest. Film ini, sebagaimana yang sebagian besar kita tahu, diramu dari Novel karangan Andrea Hirata yang berjudul sama, sebagai bagian kedua dari suatu tetralogi. Saya sengaja tidak membaca novelnya dulu, karena pengalaman mengatakan: sering kita secara tidak adil menelisik tubuh film sebagai tidak sempurna menyampaikan pesan dari buku asalnya. Alasannya, banyak adegan yang (terpaksa) dihilangkan untuk merampingkan durasi, beberapa bagian dibuat berbeda dari aslinya demi melayani hasrat penonton untuk suatu dramaturgi yang indah, alur yang sejak dulu begitu mendikte temponya, mengurung imajinasi, dan sebagainya. Saya tidak mau menghakimi, makanya, saya tidak membaca novelnya dulu.

Cerita diawali dengan adegan Pak Seman, ayah Ikal, bersepeda dengan baju safari satu-satunya. Belakangan baru ketahuan bahwa dia hendak menjemput rapor semesteran sang anak. Belakangan juga baru ketahuan bahwa baju safari itu bahkan tidak dipakainya untuk menemui bupati, hanya untuk Ikal, anak kebanggaannya. Mengapa adegan ini menjadi pembuka film? Tentu saja bukan untuk menjadi pengenalan cast saja. Adegan ini, asumsi saya, diletakkan di awal, karena peristiwa penerimaan rapor itu membawa kita ke banyak bagian dari cerita ini. Ia membawa kita ke bagaimana sebuah mimpi mendorong seorang siswa SMA menggenjot prestasinya. Ia membawa kita ke bagaimana sebuah surat salah alamat menjadi awal kekecewaan seorang kuli kasar yang berharap promosi. Ia membawa kita kepada mimpi-mimpi yang tersendat menuju terwujudnya.

Arai, tersebutlah begitu namanya, adalah seorang tokoh baru dalam cerita. Ia adalah sepupu Ikal yang ditinggal mati ayahnya. Seperti narasinya, Ikal menceritakan betapa ia harusnya yang menghibur anak itu (atas dukanya) tetapi malah dibuat tersenyum bersamanya. Arai adalah tokoh sentral cerita ini, menurut saya. Dari dialah, Ikal akhirnya ketularan mimpi-mimpi muluk yang alhamdulillah akan terwujud. Arai-lah SANG PEMIMPI. Dialah yang mengajarkan Ikal, dan dalam beberapa tingkatan--saya, bahwa Mimpi adalah Nafas. Tanpa Mimpi, kita mati.

Saya tidak akan repot-repot menceritakan lagi kisahnya, karena sebagian besar kita sudah membacanya sampai khatam beberapa kali. Saya hanya akan sedikit berbagi apa yang saya dapat dari film ini. Tentu saja 128 menit tidak akan cukup membelajarkan kita akan apa itu mimpi. Tapi, cukuplah.

Ada tiga sosok yang membantu kita memahami yang namanya mimpi. Arai, yang mewakili bagian liar dari inspirasi. Ikal, yang menjaga kita tetap berpijak pada realitas. Jimbron, yang mengingatkan betapa indahnya kesederhanaan dan betapa berartinya memberi sayap kepada orang yang ingin terbang (sumpah, aku menyesal kehilangan adegan di mana dia memberikan celengan kudanya pada Arai dan Ikal saat akan ke Jakarta, gara-gara kandung kemih bodoh ini). Dinamika ketiganya menghasilkan harmoni yang indah dalam perjalanan menggapai mimpi.

Seorang guru bisa berperan besar dalam mendorong siswanya untuk menjadi jiwa yang besar. Tidak kalah besarnya juga mereka yang berkeras menjaga para siswa itu agar tetap pada koridornya. Kombinasi Pak Balia dan Pak Mustar dalam mengenalkan mimpi dan cita-cita dan dalam mengingatkan mereka bahwa jalan untuk mencapainya tidaklah mudah, sangat manis. Guru, adalah sutradara, ketika siswa-siswa itu masih aktor amatir yang punya impian terlalu besar dengan asumsi terlalu naif.

Secara garis besar, yang tersari dari film ini adalah bahwa mimpi itu adalah milik siapa saja. Mereka yang sudah 31 tahun jadi kuli, juga berhak bermimpi akan promosi. Mereka yang tumbuh dalam kemiskinan juga berhak bermimpi sekolah yang tinggi. Anak-anak berhak bermimpi jadi koboi, indian, ataupun kuda (LOL). Siapapun berhak mengimpikan apapun. Mimpi adalah napas. Begitu buah pikiran Arai, sebagaimana selalu diajarkan sang ayah sewaktu masih hidup. Mimpi tidaklah boleh dibatasi oleh kemampuan ekonomi, rentetan kesulitan, ataupun bahkan sebuah surat yang salah kirim. Orang yang punya mimpi, akan berusaha menggapainya. Setidaknya melangkah sedikit lebih maju ke arahnya dari tempatnya berdiri. 

Seorang anak yang berjanji tidak akan mengecewakan ayahnya untuk kedua kalinya. Seorang pemimpi yang semangatnya tak pernah mati. Seorang pecinta kuda yang punya hasrat sederhana dan ketulusan luar biasa. Seorang guru yang setiap memulai pelajaran meminta muridnya memekikkan kata-kata pembangkit semangat. Seorang kepala sekolah galak yang sebetulnya punya harapan besar untuk semua muridnya menggapai impian tanpa takut kecewa. Seorang ayah yang berjuang, bangga, dan kecewa, nyaris tanpa kata-kata. Masing-masing setidaknya punya suatu impian. Mereka hidup. Mungkin dalam jiwa kita juga.

Mari bermimpi kembali!

<Rocketeer Ksatriansyah>

Mengakhiri Penderitaan

Ada banyak cara untuk mengakhiri penderitaan. Yang paling populer di Jepang: Bunuh Diri. Tentunya kisah-kisah bunuh diri banyak yang begitu mencengangkan, dalam arti negatif. Ada sebagian yang membuat kita mual, dan merutuk ingin marah entah pada siapa. Ada beberapa yang romantis, karena mereka mengakhiri penderitaan sekaligus juga mengakhiri segala kemungkinan untuk abadi dalam cinta.
Kematian memang mengakhiri segalanya bagi suatu pihak, namun ini bukan satu-satunya jalan untuk berhenti menderita. 

Beberapa orang menemukan bahwa berhubungan dengan orang lain bisa meringankan penderitaan hingga level nol. Berhubungan, bagi banyak pihak, mungkin sesederhana sentuhan antara ibu dan bayinya. Mungkin juga sedikit lebih bervariasi seperti berbicara satu sama lain. Dalam tingkatan yang lebih kompleks, seks. Berhubungan membantu membagi beratnya penderitaan. Memberikan rasa nyaman (meskipun kebanyakan bersifat sementara). Membangun solusi. Solusi yang bisa mengakhiri sumber penderitaan. Cara ini kita namakan konsultatif.

Beberapa teman pernah mengusulkan padaku, bahwa bersenang-senang juga merupakan cara untuk mengakhiri penderitaan. Melupakannya. Bisa jadi ada yang menjadikan kafe dan bar tempat pelariannya. Bisa jadi seks. Betul, kita tahu, itu tak memecahkan masalah. Tapi satu cara untuk tidak menderita dengan adanya masalah, bukankah dengan berteman dengannya? OK-lah, jadi aku baru saja dipecat. BIG DEAL!Aku masih bisa karaokean dengan teman-teman. Ini, kawanku, namanya, kompromi.

Yang paling ekstrim dari pengakhiran penderitaan adalah dengan mengambil jalan mengahadapinya. Konfrontasi. Hancurkan penyebab penderitaan. Uraikan simpul-simpulnya yang saling berbelit. Mungkin akan makan banyak energi dan waktu untuk menyelesaikannya, tapi begitu semuanya selesai, penderitaan anda berakhir untuk selamanya. Inilah yang paling efektif dari semuanya.

Anda bisa tidur nyenyak malam ini. 

(Artikel ini juga dikenal dengan judul To End A Misery)

Seberapa Bebaskah Kebabasan Berbicara Itu?

Kebebasan berbicara. Hak ini sudah menjadi isu sejak dulu, jaman kerajaan. Kenapa? Kata, di luar dugaan, memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kita duga. Dengan kata—dan bahasa tentu saja—kita bisa membuat orang marah, membujuk orang untuk melakukan yang kita mau, menyanjung, menghina, merenung, dan banyak lagi. Sayang sekali, semakin zaman berkembang, dan penggunaan kata semakin luas menyentuh aspek kehidupan semua orang, semakin gumaman yang tadinya untuk diri sendiri menjadi posting di situs jejaring sosial yang terbaca semua orang, semakin pula semua orang menjadi sangat sensitif dengan yang dikatakan orang lain. 

Saya membicarakan seorang pasien yang curhat tentang perlakuan buruk RS yang berakhir menuai tuntutan pencemaran nama baik oleh RS tersebut. Saya membicarakan seorang artis yang meneriakkan kekesalannya dan tiba-tiba dikecam oleh media yang dihujatnya.

Bolehkah kita mengungkapkan apa yang kita pikirkan begitu saja? Jawabannya: Boleh. Itu adalah hak. Mutlak. Ini bukan jaman kerajaan di mana raja adalah sosok yang harus sempurna dan rakyat jelata yang mengatakan sesuatu yang mendiskreditkannya pun harus dihukum. Hanya saja: Ingat! Setiap tindakan ada konsekuensi. Kata bisa menyakiti orang lain. Membuat mereka merasa terhina. Lebih bijaksana untuk mempertimbangkan apa efek dari isi tulisan kita sebelum kita menekan tombol share. Bayangkan hidup yang kita ubah. Reputasi yang kita hancurkan. Selalu Baca Ulang! Tidak begitu sulit memilih kata yang lebih lembut dan tidak ‘tembak langsung’ tapi tetap mampu mewakili apa yang kita rasakan. Pilihan yang keras pun seharusnya tak akan menjadi masalah asalkan lingkungan yang kita teriaki bisa menerima.

Hinalah media secara cerdas. Anda BEBAS!
(Artikel ini juga dikenal dengan judul How Free is The Freedom of Speech)