Minggu, 19 September 2010

Refleksi hubungan-hubungan yang terhenti. Dan mengapa rasa itu tak hilang? Part. 2

Masih tajam betul diingatanku: Bandara Soekarno-Hatta, Januari 2007. Keputusanku untuk putus dengan Lusi kusesali betul-betul. Mungkin aku dapat memperbaiki semuanya di Jakarta ini, pikirku. Di tangan kananku, sekotak cokelat aneka rasa, untuknya. Dia akan mengambilnya, tepat pada hari Idul Adha, malamnya. Tak kusangka, itu adalah salah satu malam yang selalu kusangka akan menjadi akhir kisah kami, karena setelah malam itu, makan waktu sekitar delapan bulan baru kami bertemu lagi. Dan tak sedikitpun hatiku berubah padanya. Tidak sedikitpun.

Kulampaui waktu sedikit. Aku mundur ke sekitar akhir Oktober 2007, di mana aku bertemu dengan Inka, salah satu fase di mana aku hilang kontak dengan Lusi--mengira sudah tak ada lagi hubungan di antara kami. Wanita yang selalu dewasa dalam pembawaannya ini, ajaibnya, menyukai ketika aku mengajaknya berdansa di kamar kosku yang sempit, hanya dengan gumaman yang selalu kupercaya sebagai lagu. "Save the Last Dance". Jantungku kencang berdegup saat kami bersentuhan dada dengan dada. Aku bohong kalau tak ada birahi di sana. Ukuran "kau-tahu-apa"-nya lebih dari wanita-wanita pada umumnya. Tapi, bukan itu yang membuatku seakan tersihir... tetapi sikapnya yang penuh determinasi. DIa ingin status penuh akan diriku. Aku yang masih gamang, tentunya hanya bisa menyuguhinya ketidakpastian. Beberapa bulan setelahnya, aku membiarkannya dengan pilihan-pilihan hatinya. Yah, beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama, aku meneleponnya. Dia masih menyimpannya. Perasaan itu. Padaku. Sungguh aku begitu terharunya sampai hampir menangis. Bersorak karena senangnya. Tapi lagi-lagi, dunia menempatkanku pada posisi sulit yang mengharuskan aku menyuguhinya ketidakpastian part 2. Aku sungguh menyesal.

Februari 2007. Aku sungguh tertarik dengan Stephanie. Dengannya, dunia seakan tanpa aturan. Mari menggila, ajaknya. Ha! Tentunya aku yang naif dan sedang terombang-ambing emosi, hasrat, dan orientasi diri dengan senang hati menyelami ombaknya. Malam-malam kami lewati dengan 'main cantik' (istilah dia untuk "memulai kencan dengan biasa dan mengakhirinya dengan indah"). Waktu itu, kusadari betul salah langkahku. Steph sudah punya 'monyet' sendiri. Ha-Ha! Aku bersyukur tidak membiarkan diriku jatuh terlalu dalam pada pesonanya. Kukemasi kehidupanku dan menuju hati yang baru. Steph bisa kuandalkan mengisi hari-hariku bila suatu hari aku sedang sendiri dan butuh belaiannya, gumamku. Tapi, itu nanti saja.

Enam bulan kemudian, aku mengikat janji dengan Aini. Aini muda, tetapi cintanya sama besarnya dengan rasa posesifnya dikalikan dengan emosi dan hasratnya. Kurasa, dari semua pacar-pacarku, dialah yang paling mencintaiku. Kami backpack ke Jokja Bandung dan tak sedikitpun ia mengeluh lelah atau lapar. Hubungan yang kujalin dengannya harus jarak jauh tapi kami membuatnya berhasil. Setidaknya itu pikiran dia. Aku, yang tak tahan dengan kesendirian di kota sebesar ini, terus melancarkan acara flirting ke lima penjuru. Tanpa ada kata berhenti. Aini suatu hari mengetahui kenyataan ini. Sungguh, baru kali ini, aku mengalami kekerasan fisik yang bahkan tak aku tahu cara membalasnya. Alasan pertama, memang aku yang salah. Di lain pihak, dia adalah wanita. Hari-hari yang kulewati dengannya setelah dia menemukan semua kenyataan itu, nyaris bagai neraka. Dia tak ingin pergi. Dan aku sebetulnya tak ingin tinggal. Tapi hatiku masih menyimpan sesal karena menyakitinya. Hingga pada satu titik, aku secara sepihak menyepakati bahwa sesungguhnya tak ada lagi yang tersisa di antara kami. Bahkan tidak harapan. Atau kesempatan kedua. Aku tahu, karena saat dia mengaku dia selingkuh, sedikitpun, aku tak marah atau cemburu. Bisa kau bayangkan?

Ardiani. Satu nama dari Jokja. Aku mengenalnya lewat mantanku. Mereka sahabat dekat. Memang, aku bukan jatuh cinta padanya. Tapi, sesuatu tentangnya begitu menarik, hingga aku sedikit agak terhipnotis pesonanya. Kami bercengkerama sepanjang malam dalam suasana romantis. Beberapa kali aku memeluknya dan menciumi rambutnya. Aku jatuh sayang. Aku tak ingin dia pergi. Sampai keesokan harinya. Aku menemaninya mengunjungi kawannya di Bogor. Deli namanya. Masih cantik Ani sebetulnya. Tetapi, kau bayangkan: dalam mobil 4 seat, David teman Ani nyupir, Ani di sampingnya, aku di bangku belakang dengan Deli. Deli yang hanya mengenakan tanktop dan rok pendek. Dengan bodi yang seksi, sorot muka keras dan menantang, dan aroma yang wangi. Arghhh! Singkat kata: aku mengacaukan semuanya. Ani pulang ke Jokja dengan perasaan jengkel padaku. Deli sama sekali tak pernah menghubungiku hingga hari ini. So much for an appetite!

Di sebuah kelab malam, aku tak sengaja membuat Dini jatuh cinta padaku. Kubilang padanya aku sudah punya Aini. Dia tak peduli. Bagi dia, mencintai itu egois. Jujur, aku tergoda, tapi hingga detik dia memutuskan bahwa aku tak layak diperjuangkan, aku sama sekali tak menyentuhnya seinci pun. Padahal sebulan saja lagi dia menggodaku, mungkin aku sudah jatuh ke pelukan dia. Betapa tidak: dia memberikanku banyak hadiah untuk (1) Ulang tahunku, (2) Sebulan kenal dia, (3) lebaran, (4) natal, dan (5) tahun baru, oh iya (6) Valentine juga. Bukan masalah nominal, tapi perhatiannya. Tak sedikitpun ini kubalas. Aku tahu betul perasaannya dalam padaku. Aku hanya tak merasakan yang sama juga. Sebentar lagi hari Ulang Tahunnya yang ke 27. Tahun Baru. Seharusnya aku sedikit bersikap bersahabat padanya. Dini yang selalu manis dan tulus. Kuharap hari ini dia sudah menemukan tambatan hatinya.
============================================================

Taksi mengantarkanku semakin dekat dengan kosanku. Beberapa muda mudi yang kulewati mengingatkanku pada banyak kisah kasih yang kulewati. Jalannya tak pernah mulus. Tak sekalipun. Karena jika ada yang mulus, tentunya aku sekarang sudah menikah dan punya 4 orang putra bukan? Mungkin dengan Lusi. Mungkin dengan Inka. Mungkin juga dengan Dini. Atau Aini. Tapi tidak dengan Cintya. 

Pertemuanku dengan Cintya adalah perjalanan panjang dengan percakapan-percakapan menarik di beberapa spot cozy di kota ini. Waktu itu dia baru saja mengakhiri hubungan dengan seorang pria beristri. Dia jatuh cinta setengah mati padanya. Kasihan. Aku tertarik pada kecerdasannya. Pada determinasinya menghadapi hidup. Pada kesederhanaannya dalam menilik segala hal. Pada caranya menyelesaikan masalah. Kami jadian setelah lebaran saat dia menciumku waktu menjengukku ketika sakit radang tenggorokan. WOW! banyak sekali keterangan waktu di kalimat barusan! Anyway, aku melaluinya dengan penuh semangat. Seakan-akan, aku menandai ia sebagai akhir dari petualanganku. Baru setelah tiga bulan berjalan, aku melihat diriku berbeda di matanya. Aku bukan pangeran berkuda putihnya. Aku kerdil di dunianya. Aku remeh di daftar prioritasnya. Tingkah ekspresifku yang selalu menjadi andalan untuk memikat para wanita, baginya tingkah yang menjijikkan. Untung saja aku belum pernah melewati karaoke bersamanya. Aku terbelenggu tanpa bisa menjadi diriku sendiri. Tapi tak apa. Aku berusaha mengubah diriku menjadi lebih baik. Aku mencoba menghentikan mimicking yang dibencinya juga. Tapi untuk apa? Pada akhirnya aku juga tahu, begitu berbedanya kami, sampai salah mengartikan hasrat ingin berpasangan dengan cinta. Mungkin padanya tak pernah ada untukku. Tapi tak apa. Sekali lagi tak apa.

===========================================================

Aku membungkus kotak cokelat tadi dengan rapi agar Lusi bisa menerimanya tanpa prasangka. Aku tak tahu apa yang berlari dipikiranku sampai bisa menduga Lusi berprasangka. Ah! Tidak! Aku hanya mencintainya. Dia datang. Dengan seorang teman. Mungkin penggantiku. Aku sedih sesaat. Lalu dia pamit. Pamit betulan. Hingga delapan bulan berlalu baru aku bisa ketemu dia lagi.

Ngomong-ngomong tentang pamit. Ada satu sosok yang pernah menyinggahi hatiku sebelum aku memutuskan untuk pamit. Hingga kini tak bisa kulupakan. Namanya Rahmi. Kita semua memanggilnya Mami. Ketika masih kuliah, sebelum bertemu dengan Haryanti, aku ikut seleksi pertukaran pemuda. Lalu saat pembukaan seleksi itulah, aku menangkap parasnya yang ayu tersenyum sumringah. Diam-diam kuharap, semoga aku nanti diwawancara olehnya.

Seolah dreams come true, aku duduk di hadapannya menjalani wawancara. Oh! Ini terlalu indah untuk jadi nyata! Tanpa sadar aku tersenyum saking senangnya. Astaga! Jantungku tak mau menurunkan volum degupnya. Kurang ajar!

"Selamat Datang di Seleksi Pertukaran Pemuda", sapanya. OH. MY. GOD. Hanya mendengar suaranya saja aku sudah melayang ke alam entah apa.

Wawancara berjalan dengan manis. Dia bertanya macam-macam dan aku menjawab lebih macam-macam lagi. Aku kehilangan indera perkata-kataanku. Aku bahkan tak ingat bicara apa saat wawancara itu. Yang kuingat hanya dia bolak balik tersenyum dan berkilap-kilap.

Singkat cerita, aku lulus tahap berikutnya. Kejadian berikutnya yang membuat hatiku betul-betul terpaut padanya adalah optional test malamnya. Dalam tes tersebut, kami akan dicecar dengan pertanyaan dan pernyataan memojokkan untuk menarik keluar sang emosi dari kejaimannya. Banyak sudah korban berjatuhan. Mereka marah. Gusar. Murka. Kami yang tersisa menunggu pembantaian dengan gelisah. Lalu mataku tertumbuk pada sosok Mami. Hey! Apakah aku tak salah lihat? Dia memandangiku! Daritadikah? Mungkinkah... Begitu banyak kemungkinan berseliweran di otakku mencoba menguntai satu kesimpulan tentang apa sebetulnya yang terjadi. Tiba-tiba dia tersenyum. Ke arahku. Dan dengan senyumnya itu, semua kemungkinan-kemungkinan yang tadi berseliweran memburai begitu saja menjadi nuansa kabur dalam gerak lambat. Aku berani bersumpah ada sekitar lima belas detik, waktu seolah berhenti bagiku. Hanya aku, dia, dan senyumnya. Sekonyong aku siap menghadapi semuanya. Tentu saja semua berjalan kacau, aku cengengesan, komentar salah seorang juri. Tapi hatiku tidak kacau. hatiku mantap. Inilah wanita yang akan kucintai seumur hidupku, apakah akan atau tidak aku melewati sisa hidup bersamanya. Mohon maaf untuk semua wanita yang akan datang padaku setelah titik itu.

Aku tidak mendapatkan anugerahnya. Tak apa. Pertemuan dengannya bagiku adalah hadiah teramat berharga utnuk momen yang begitu singkat. Bulan-bulan setelahnya, aku mengikuti jejaknya, lewat teman-temannya. Aku mendatangi ketika dia sedang siaran. Aku bahkan berteman dengan Putra, sesama mantan kandidat, yang akhirnya pacaran dengannya sebentar. Aku selalu beruntung bisa bertemu dengannya secara tidak sengaja. Atau disengajai. He-he. Beberapa kali di pertokoan. Beberapa kali di warnet. Sekali waktu dia menjadi pembicara di talk show bebas. Aku mengikuti segala apa yang dia lakukan. Padahal waktu itu belum ada twitter atau facebook. AKU. JATUH. CINTA. PADANYA.

Pertengahan 2007 dia menikah. Dengan seorang pria bernama Jesse. Bukan. Bukan bule. Hanya orang Indonesia yang kebetulan punya nama internasional. Mereka membuka warung kopi bersama, yang berkembang menjadi gerai Pizza. Dia tumbuh menjadi wanita yang hebat. Aku bangga. Meskipun aku tidak bersamanya.

Di Maret 2004 aku sudah pamit padanya. Aku mengajaknya, setelah mengumpulkan keberanian, untuk minum kopi di sebuah tempat bernama "Coffee and Books" di bilangan Kaliurang. Dia dengan antusiasnya mengiyakan. Entah karena dia suka kopi. Mungkin Buku. Atau, aku. Aku ingat betul hatiku begitu ceria hari itu, sehingga aku menceritakan semua pada seluruh penduduk kosan. Langit sangat cerah. Dunia penuh warna. Musik latarnya pun meriah. Itu adalah pertaruhanku dengan nasib. Bila betul kami berhasil bertemu, aku akan melamarnya saat itu juga dan memutuskan tinggal di manapun ia memutuskan untuk berlabuh, dan jika tidak, tokh aku sudah mengepak semuanya dan tinggal berlayar ke Makassar.

Hari H. Jam J. Dia menelepon. Dia tidak bisa. Dosen pembimbing skripsinya mengharuskan dia untuk bertemu hari itu juga. Akulah satu-satunya skedul yang bisa ditunda karena tingkat keremehannya yang luar biasa. Aku menerima semua dengan lapang dada. Dengan sebuah SMS singkat "MAMI, MAKASIH YAH LO UDAH HADIR DALAM KEHIDUPAN GW. MUNGKIN BAKAL LAMA LAGI SAMPAI KITA BERTEMU LAGI. SALAM, FANS KAMU. HEHE", aku pamit.

PS: Saat itu aku tak menyangka bahwa tiga tahun dari saat itu ada benda yang booming bernama facebook di mana aku bisa mengikuti gerak geriknya tanpa kelihatan mencurigakan. Aku ingat betul: dia join facebook karena undanganku ke emailnya. Setiap 8 Maret, aku masih mengiriminya SMS Selamat Ulang Tahun. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar