Minggu, 19 September 2010

Refleksi hubungan-hubungan yang terhenti. Dan mengapa rasa itu tak hilang?

It's who you are with that can make you feel the way you are feeling then

Pagi seperti ini, dua tahun silam, setelah malamnya aku menelepon seseorang yang aku cintai, aku tercenung di meja sarapan sebuah hotel tidak terlalu megah di Batam. Aku selalu sadar bahwa aku selalu sendirian. Bahkan ketika aku punya kekasih. Menyesap kopi yang sudah tidak terlalu panas, aku merenung balik ke beberapa hubunganku sebelumnya.

Cinta pertamaku adalah sahabatku waktu SMP. Bukan perempuan. Bukan cinta seperti itu. Aku hanya selalu merasa tak lengkap tanpa adanya dia. Aku lupa bagaimana, aku begitu saja akrab dengan dia. Aku betul-betul lupa. Yang teringat hanyalah kenyataan bahwa aku suka seni, dan dia olahraga. Tapi aku ikutan setiap kali dia ajak main basket. Aku suka menulis, sementara dia berbicara. Jadi aku mendengar setiap apa yang ia ceritakan, dan menanggalkan pulpenku setiap kini dan nanti. Aku tidak sadar betapa aku sudah melepaskan beberapa atribut identitasku cuma untuk menyeragamkan langkah dengannya. Kami bersahabat hingga lulus SMP.

Cinta keduaku adalah Indri. Seorang gadis (mudah2an) yang begitu militer sikapnya. Aku tak pernah benar-benar bersamanya. Aku takut harus menunggui dia latihan mengibarkan bendera (yang aku tahu betul tak ada improvisasi di dalamnya sejak jaman jebot) hingga malam bertandang. Aku harus belajar. Sendiri.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sesebentar kupanggil 'mbaknya' untuk merefill cangkir kopiku. Sarapan sendiri di hari Minggu tak pernah tidak menyakitkan. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk bangun siang setiap Sabtu atau Minggu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cinta ketigaku berawal di dunia kuliah. Seorang wanita yang berusia 5 tahun lebih tua daripadaku. Singkat kata, kami pacaran, setelah kopi darat dari perbincangan maya di mIRC. Dia sangat baik dan mengayomi. Namanya Wahyuni. Sesekali kami coba untuk menyerempet seks, tapi hanya sampai tanganku meraba celana dalamnya. Aku berkeringat dingin. Takut. Dari dua bulan ia berada di Jokja, kami hanya jadian dua minggu saja. Aku memutuskan bahwa aku belum siap dengan hubungan serius seperti apapun. Tapi, jujur saja, saat itu aku berpikir dia terlalu tua. Semua percakapannya membuatku merasa asing dengan sekelilingku. Bukan karena kalah cerdas, karena itu nyaris tak wajar, tetapi karena topik yang ia angkat melulu tentang ekonomi makro... notabene aku buta samasekali.

Cintaku yang keempat namanya Ariel. Yah seperti ikan duyung itu. Tiga tahun lebih muda dari aku. Ah! Mengapa usia begitu penting buat aku? Ciuman demi ciuman hebat kami umbar di sebuah kamar kos 3x3. Oh, inikah gairah muda, gumamku. Ia suka menulis puisi dan ia sangat lihai. Akupun menikmati percakapan-percakapan kami di ruang susastera. Dengan rima-rima, tanda-tanda baca, membungkus makna dengan selaput rasa. Sesuatu seperti itulah. Tetapi, dia kerap mengingatkanku akan usianya. Tempo-tempo ia ngambek luar biasa. Tempo-tempo bersikap obsesif tentang sesuatu. Aku sekonyong merasa tua begitu saja. Orang tua yang direpotkan oleh celotehan anak kecil yang tak tahu kapan diam.

Lalu aku bertemu dengan Wolan Haryanti. Sosok sempurna seorang perempuan. Suka puisi (Oh ya ini penting). Dewasa. Cantik. Suka baca komik juga (entah karena mengikuti langkahku atau apa). Tidak pengikatan. Misterius. Sempurna. Aku menikmati momen ketika aku menggendongnya pulang kekosannya suatu malam setelah kami pulang dari perpustakaan. Aku menyukai momen ketika dia tidak merasa malu menghabiskan waktu makan malam denganku, meskipun aku makannya 'tidak berpendidikan'. Aku menyukai setiap percakapan dengannya. Dia memberi komentar brilian untuk setiap puisiku. Dia memfotokopi gambar yang kubuat untuk ia koleksi. Dia menyukai setiap sisi diriku. Tapi tak ada seks (atau mendekati seks) dalam hubungan kami. Hingga akhirnya aku selingkuh. Ia menangkap gelagat dan menodong dengan pertanyaan. Aku, setelah lama mempertimbangkan, memutuskan untuk bercerita padanya kejujuran hingga rinci terkecil. Ia, dengan air mata, menghargai semuanya dan menerimaku kembali. Tak ada momen yang lebih indah dari itu. Tak ada kenangan yang lebih kuat dari itu. Bahkan meski ia sangat sibuk, ajaibnya setiap hari selalu ada waktu yang ia sebut "setengah jam wajib untuk Rendra". Kami putus karena aku harus kembali ke Makassar dan ia... tak ingin mengubah apa yang ia percaya sebagai cinta sempurnanya. Aku kembali sendiri.

Orang keenam, kutemui di Makassar, namanya Anggi. Kami berdua mendaftar awak kabin di sebuah maskapai. Singkat cerita, wanita cantik, berkepribadian, tetapi untuk urusan seks dia brengsek--tidur dengan hampir semua laki-laki yang aku kenal. OK, aku bertahan dengannya beberapa minggu saja. Jangan tanya berapa kali aku harus menunggu dia datang terlambat di suatu kencan, sementara dia dengan laki-laki lain. AH!

Andien. Aku ragu apakah aku pernah betul-betul jatuh cinta kepadanya. Tetapi hubungan kami sangat dalam. Aku beberapa kali menginap di rumahnya. Aku membelikan dia baju. Aku mengganti ban mobilnya. Aku membayar kartu kreditnya. Entah apa yang menyirapku, aku sepertinya mengeluarkan sangat banyak uang ketika bersamanya. Aku bersyukur harus putus karena jarak yang kurasa makin mencekik leher lewat kabel sambungan telepon. Biayanya tentu saja yang kumaksud.

Berikutnya, Medan. Aku bertemu ia di suatu hujan lebat. Lewat friendster. Namanya Hadya. Sungguh kali ini beda usia yang empat tahun tidak menjadi masalah. Dia bijak dan aku menikmati kebijaksanaannya. Dia dinamis, pergaulannya luas. Sering aku dibawa bertemu teman-temannya. Mereka bilang aku pacar dia yang paling tampan dan cerdas. Ha! Ha! Tokh, saat kami putus sudah tidak ada airmata, karena kebersamaan yang tiga bulan betul betul kami isi dengan keceriaan. Aku selalu merindukannya.

Jakarta, Agustus 2006. Aku bertemu Lusi. Secara tidak sengaja. Perbedaan kami banyak sekali. Dalam artian: dia jauh lebih baik dan bisa mendapatkan yang lebih baik dariku. Aku suka komik dan dia suka... hummm... nyanyi. Beda khan? Aku juga suka menyanyi, tetapi tidak sebagus dialah. Parasnya yang bak malaikat adalah pemandangan favoritku. Hingga kini. Caranya tertawa selalu bisa membuatku bahagia. Dengan tersenyum saja dia sudah menghapus gundahku dan menularkan seluruh kegembiraan yang ada padanya untuk tumpah di dadaku. Aku selalu suka aroma yang ia tebarkan, bukan dari parfum, tetapi dari badannya sendiri. Sikapnya anggun. Dewasa. Pengertian. Dan meskipun dari semua kekurangannya, saat dia tidak bisa menemuiku, atau membatalkan janjinya ribuan kali, cinta yang aku rasakan tidak kunjung bisa terkalahkan oleh keinginan untuk sedikit saja benci padanya. Kami sudah memutuskan untuk berpisah. Tadi malam itu. Untuk alasan yang baik. Tapi jujur saja, aku masih akan sering cemburu tiap dia ada gandengan lain.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kopi sudah habis. Jarum jam menunjukkan pukul 10.10 pagi. Sebentar lagi makan siang. Sudah cukup kiranya menjelajah ke masa lalu. Sekarang saatnya berenang!!!

<Rocketeer Ksatriansyah>

PS: dalam dua tahun terakhir, setelah perenungan itu, aku masih sempat jatuh cinta pada beberapa wanita lagi. Percayalah: wanita bukan melulu usia, kebijkasanaan, wajah, pengertian, dan seks. Mereka makhluk indah yang bisa membuatmu merasa kesepian tanpanya. Merasa kesepian dengan hadirnya. Merasa kesepian bersamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar