Minggu, 19 September 2010

Refleksi hubungan-hubungan yang terhenti. Dan mengapa rasa itu tak hilang? Part. 3

Akhir satu petualangan adalah awal petualangan yang baru lagi. Mengapa aku tak tahan sendiri? Aku sendiri tak pernah tahu jawabannya. 



Hari ini, dua hari setelah penghujung 2009, aku betul-betul mengamuk sejadi-jadinya pada mantanku, Lusi. Hanya karena dia membalas semua komen di statusnya, kecuali komenku. Saya ulangi: kecuali komenku. Sekali lagi: kecuali komenku. Sebelumnya ini tak pernah mengganggu. Tokh aku biasanya menulis hal yang super duper tidak penting seperti: wkwkwkwkwkw dan sejenisnya. Itu memang tidak butuh balasan. Tapi tidak hari ini. Aku mendoakan harinya. Men-do-a-kan. Dia membalas semua komen remeh temeh lainnya. Dan membiarkan komenku. Aku cuma berpikir: apa dia terlewat membacanya? Kuulangi membaca apa yang sudah kutulis. Tidak mungkin seorang Lusi melewatkannya.



Singkat kata, aku tersinggung dengan perlakuannya yang berbeda. Kalau dia tak mau lagi ada hubungan denganku--tidak juga hubungan mantan, kalau kau tau maksudku--kenapa dia tidak me-remove-ku dari friend list-nya??? Mengapa bersusah payah mengabaikanku? Ha! 



Temanku bilang: kalau dia baca status aku, dia pasti menelepon segera kalau memang dia merasa berbuat salah. Dia tidak menelepon. Oh! Yang menelepon justru Citra, gadis yang belakangan jalan denganku dan tiba-tiba berubah perasaannya karena mengharapkan keajaiban bersama mantannya, menanyakan apakah aku baik-baik saja. Ya, aku benci dia juga. Karena keputusannya. Tapi tidak sebesar benci yang timbul pada Lusi. Aku terlalu cinta pada Lusi untuk bisa menerima perlakuan seperti ini darinya... Ter-La-Lu.



*pssst... pada saat menulis ini, ada bayangan wanita melintas di layar laptopku... tapi aku sendirian*



Setelah kurenungi benar-benar, tak pernah aku menutup betul pintu yang satu sebelum membuka pintu yang lain... Dengan Nuri, aku masih berhubungan cukup lama bahkan setelah pacaran dengan Haryanti, jatuh cinta pada Mami, dan balik ke Makassar untuk menyongsong kebrengsekan Anggi. Kami masih berhubungan. Yang benar-benar menghilang adalah Haryanti. Yang jatuh benci padaku karena pamit tanpa aba-aba. Tak pernah aku betul-betul sendiri menjalani hari-hariku.



Hari ini, aku memutuskan akan menyimpan perasaanku yang masih membara pada Lusi dalam kotak sejuta mimpi. Aku tahu hubungan dia dengan Iman, pacarnya, akan semakin dalam saja. Tak baik buatku mengganggu mereka. Tak boleh lagi aku meneleponnya, aku melarang diriku. Tak boleh lagi aku menemuinya, aku mencegat diriku. Tak boleh lagi aku tengok statusnya, aku hapus bookmarknya. Tapi, tak boleh pula aku mengganggap dia bukan siapa-siapaku.



Yang jelas, kejengkelan tadi siang sudah kutebus dengan dua sesi 'bercinta' (yang kumaksud tentunya ngobrol tentang cinta), satu dengan cewek badung super cantik yang cuma menindik sebelah kupingnya, satu lagi dengan anak SMA yang... yah, pretty much belum tahu apa-apa. Tak ada yang akan kusimpan lagi. Bukan saatnya memulai petualangan baru. Meski nun jauh di sana ada seorang bu guru yang mencintai dunia anak-anak, yang mungkin juga menyukaiku. Bahkan meski ia pandai bermain piano. Bahkan meski ia mencintai binatang. Bahkan meski ia mengganggap selera makan yang besar itu adalah keseksian. Bahkan meski ia menghargai mereka yang punya perhatian pada hal-hal kemanusiaan. Aku harus betul-betul memikirkan langkahku kali ini.



Aku tak ingin mengecewakan siapa-siapa, seperti aku mungkin telah mengecewakan cewek yang mendapatkan invitasi untukku nonton Sang Pemimpi, berjalan kaki di bawah langit malam yang cerah, menghabiskan sebungkus rokok lewat ceritera tentang kehidupan, dan tertidur di sampingku dengan pulasnya.



Kalau hati ini masih tertaut Lusi, mungkin itu tak bisa kucegah. Tapi, untuk tahun ini, aku harus tahan sendiri. Menghentikan langkah sejenak sebelum petualangan baru mulai. Mari duduk dan menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar