Sabtu, 18 September 2010

Rumput itu Lebih Hijau, Kapten!

Ketika aku berumur 6 tahun, beberapa kali aku menginginkan apa yang teman-teman punya. Baju yang lebih bagus. Mainan yang paling baru. Sebuah sepeda, sepeda apapun itu. Dan ketika mereka memamerkan barang-barang itu, aku dengan bodohnya mengira mereka akan membiarkan aku menyentuh, meminjam, atau memakainya. Anak-anak seringkali bersikap kejam satu sama lain. Mereka sudah mengenali kesenangan dari melihat orang lain iri. Kenikmatan dari menyombongkan sesuatu.

Well, sepuluh tahun berlalu. Dengan cepatnya. Aku segera belajar dengan cepat bagaimana menangani rasa iri semacam itu. Bukannya bahwa setiapkali teman-temanku membanggakan apa yang mereka miliki, lalu aku tidak merasa iri. Oh, percayalah, rasa iri itu tak pernah mati. Ia bahkan tak pernah menua. Hanya saja, kali ini aku tidak merengek pada ibuku untuk membelikanku hal yang sama. Dua alasan: ibu tidak suka menghambur-hamburkan uangnya untuk alasan dangkal seperti memuaskan dahaga iri dan aku hanya akan menjadi orang nomor kesekian yang memiliki hal itu (dan itu akan membuatku kelihatan dua kali lebih kalah). Yang kulakukan adalah, bersikap kompromistik: melakukan pertukaran. Atau kalau semua kompromi gagal, bersikap jahat: menghancurkan pusat rasa iri dengan prinsip “kalau aku tak boleh memilikinya, tak seorangpun boleh”. Yah, begitulah… separuh akal sehat, separuhnya lagi iblis.

Tahun demi tahun akan tetap berlalu. Pada beberapa fase, aku sempat mengira acara iri-mengiri sudah akan berhenti. Tapi ternyata tidak. Ia hanya mengendap dan mengalir di bawah permukaan. Orang menginginkan hampir segalanya, baik yang dimiliki ataupun yang tidak dimiliki orang lain. Gaji lebih besar. Jabatan lebih tinggi. Popularitas. Kemapanan. Sukses. Sesuatu yang sederhana seperti pekerjaan. Seorang pacar.

Seorang pacar. Oh ya. Aku masih ingat pepatah 
“rumput tetangga lebih hijau”. Tiba-tiba aku mengerti artinya.


Setelah fajar pertama 2008 menyingsing, aku diajak seorang teman bertemu mantan pacarnya di Bogor, dan karena aku tak punya apa-apa dalam agendaku hari itu, aku mengiyakan. Hanya saja aku tak mengira akan bertemu dengan salah satu wanita tercantik di tanah jawa. Singkat kata, aku melakukan pendekatan; bercanda dan sebagainya. Kami bahkan bertemu keluarganya. Hanya dari pendapatku, tapi kurasa dia juga menyukaiku. Yang tidak kusangka, temanku, mantannya, tiba-tiba menyadari kedekatan kami dan memutuskan untuk masuk ke tengah-tengah. Ia meminta mantannya itu untuk balikan.

Aku tahu, aku belum hendak meminangnya jadi pacarku karena aku masih punya pacar. Dan itu tak lebih hanya reaksi kimia spontan. Tapi, menakjubkan bagiku, bahwa tiba-tiba si gadis menjadi sesuatu yang berharga bagi temanku itu, begitu ada yang menginginkannya lagi. Dan lebih menakjubkan lagi, begitu si gadis menolaknya, tiba-tiba saja aku tak begitu menginginkannya lagi. Ia kehilangan daya tariknya. Entah dia berharap aku masuk setelah ia menolak temanku, entah tidak. Kurasa pertandingannya jadi lembek begitu kompetisinya menurun. Lagian aku sudah punya pacar.

Iri: selalu ada dan akan selalu ada. Menyeruak dari tengah-tengah ketidakseimbangan kemampuan masyarakat untuk memiliki. Manusia akan selalu menginginkan sesuatu, dan rasa ingin memiliki itu menjadi lebih hebat ketika sesuatu yang kita inginkan adalah milik orang lain. Banyak yang memutuskan untuk mengikuti dahaga iri itu. Beberapa lebih bijak untuk ‘ikut bahagia’ dengan kebahagiaan orang lain. Dan sebagian kecil lagi menghabiskan waktu melakukan apapun juga untuk membuat orang lain merasa iri. “Kebahagiaan dengan membuat orang lain merasa lebih miskin”. Tentu saja, ini kebahagiaan semu dan dangkal, dan menyebabkan rasa sakit hati bagi banyak orang. Entah aku masuk grup yang mana. Aku senang dengan apa yang kumiliki dan aku masih menginginkan banyak hal, dan kurasa itu karena aku melihat bahwa orang-orang di sekelilingku memilikinya. Sebuah keluarga. Sebuah bangunan yang bisa disebut rumah. Anak-anak nakal yang lupa kerja PR. Makanan buatan istri. Sebuah surga di atas dunia.
Kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar