Sabtu, 18 September 2010

Ugly itu Betty, Kapten!

How ugly is “Ugly Betty”? Beberapa teman pernah bertanya tentang sebuah serial TV luar negeri dengan tajuk “Ugly Betty” tersebut. Mereka penasaran dengan seberapa jelek wajah seseorang untuk cukup pantas menyandang predikat Ugly. Bagi yang belum pernah menonton Ugly Betty mungkin bisa membayangkan serial Betty La Vea yang diputar di stasiun TV Indonesia. 

Sosok Betty di versi venezuela, benar-benar mewakili seorang gadis kampungan yang tidak tahu berdandan dan tak mengenal istilah hairdo. Sedangkan Betty versi Amerika, merupakan gambaran gadis kota yang buta terhadap perbedaan Prada dan Armani, wajah pas-pasan, dan lagi-lagi memfokuskan pada suatu bencana kosmetika. Well, ada perbedaan standard jelek di antara keduanya (tampaknya Amerika lebih ketat memberlakukan fashion rule). Namun, keduanya, jika dibawa ke standard Indonesia adalah gadis rata-rata. Tidak jelek, adalah istilah yang paling pas. Mereka bisa menjalani hidup tenang tanpa dihakimi tentang penampilan luar. Yah, Negara ini lebih permisif masalah penampilan.



Namun, kalau berbicara masalah penampilan, maka kita adalah makhluk sosial yang terlalu kritis. Entah berapa dari kita yang pernah (kalau bukan kerap) mengomentari (kalau bukan mencela) penampilan orang lain. “Salah kostum, sayang!!!”. “Rambutmu kenapa??? (bahkan ada hari rambut buruk yang diadaptasi dari manca)”. “Wah, Baju, celana, sepatu gak matching banget!!!”. Dan banyak lagi komentar pedas yang sering begitu saja meluncur untuk mengacu pada dandanan seseorang. Mungkin, apa yang kita katakan benar. Mungkin, kita dalam konteks bercanda. Tapi, apakah semua itu perlu???

Lebih parah lagi, ketika kita melihat ugly betty-ugly betty versi Indonesia dengan mesranya menggandeng bule yang lumayan cakep, maka kita acapkali tidak tahan untuk tidak berkata “selera bule memang nggak umum”. Seriously, apa yang bagi orang Indonesia itu jelek: kulit gelap, gigi nongol, pesek, pendek, bibir monyong, dan rambut awut-awutan, ternyata masuk ke selera expat-expat. Aku tak bisa bilang bahwa mereka tak punya pilihan, karena ketika aku bertanya pada salah satu expat kenalanku, mereka bilang wanita-wanita seperti itu ”eksotik”. Wow! Benar-benar tak kusangka. Lalu, aku menarik kesimpulan bahwa bukan hanya standard di masing-masing negara untuk kata “buruk rupa” itu tidak sama, tetapi malah benar-benar berbeda. Orang yang selama ini kita anggap jelek, ternyata bagi orang luar negeri sebutannya eksotik. Orang yang bagi Amerika jelek, ternyata di kita biasa saja.

So what? Kejelekan wajah itu sebenarnya bukan sesuatu yang mutlak. Hampir tak ada bayi yang lahir jelek. Semuanya lucu. Tapi pada perkembangannya menjadi anak, lalu remaja, lalu orang dewasa, tampang mereka mulai beragam. Ada yang bilang karena dandanan (ini termasuk kosmetik dan fashion). Ada yang bilang karena self confidence thing. Beberapa bahkan percaya bahwa sudah takdir mereka berwajah jelek, atau cakep. Lalu kemudian, perbedaan-perbedaan itu kemudian diterjemahkan dengan seenaknya oleh masyarakat sebagai ‘cantik’, ‘jelek’, ‘norsé’, ‘modis’, dan sebagainya. Sebenarnya, sama seperti di Betty La Vea, seekor itik buruk rupa pun bisa disulap segera menjadi angsa yang cantik. Proses ini yang dikenal luas sebagai make over. Sudah banyak reality show yang membuktikan bahwa kecantikan bisa diperoleh dengan harga yang amat mahal, proses yang menyakitkan, usaha yang melelahkan, dan risiko yang membahayakan nyawa. 



Jadi, ugliness (entah apa bahasa indonesianya) bukanlah berasal dari fisik yang jelek. Ia adalah kombinasi maut dari wajah yang didandani secara tidak layak, pengenaan pakaian di luar kaidah-kaidah busana yang berlaku, dan gaya norak mutlak. Penyebabnya ada beberapa: mulai dari penyalahgunaan pakaian, terlalu banyak aksesori, hingga cacat gestur. Herannya, masalah ini lebih kerap menyerang rasa percaya diri kaum hawa dibanding kaum adam. Makanya, mereka sensitif masalah berat badan, lingkar dada, usia, dan warna kulit. Yah, mungkin yang jadi kekuatiran wanita di tiap negara berbeda-beda. Tapi, tetap saja semua bermuara pada ‘how do I look?’. Jadi, ketika seseorang—atau beberapa orang for that matter—mengomentari penampilan kita, hanya ada dua pilihan: berkaca lagi, atau balik mengomentari (percayalah, cuek is not an option). Well, seperti Ugly Betty, ugliness hanya setipis kulit, di bawahnya bisa jadi tersimpan kepribadian dan bakat yang menakjubkan dan itu yang penting. Tetap saja, kita takkan boleh menyalahkan diri kita untuk ingin menjadi lebih keren. Stop ugliness!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar