Minggu, 19 September 2010

Wajah-wajah Seni yang Kerap Ingin Kita Urai

Tulisan kali ini pendek. Tidak akan lebih dari 200 kata. Mungkin. Kalau kita tidak menghitung empat kalimat pertama yang nyaris tak penting ini.

Di atas adalah caraku mengungkapkan diri lewat tulisan, yang mengambil cara tak biasa. Kita bercakap dengan kata. Menulis laporan dengan kata. Mencipta novel dengan kata. Tapi, cara kita menyusun kalimat, tidak pernah serupa. Ada yang mengambil sisian lugas dari spektrum bahasa (kalau tidak mengerti dengan frase ini, yang kumaksud adalah: ada beberapa orang yang memakai gaya lugas dalam berbahasa), namun bukan sedikit yang menggemari bagian 'berteletele' dari spektrum yang sama. 

Kegiatan manusia didorong oleh dua hal: keinginan untuk bertahan hidup (makan, minum, komunikasi, tidur, seks) dan semua di luar itu. Dan semua di luar itu, adalah seni. Semua yang tidak menyentuh esensi bertahan hidup adalah seni. Semua yang kerap dianggap tidak penting oleh kacamata fungsional adalah seni.

Aku beberapa kali mengamati seni dan menemukan hal-hal berikut:

  1. seni pada hakikatnya memiliki beberapa bentuk dasar: rupa, gerak, suara, diksi, bau, rasa, dan waktu
  2. bentuk-bentuk baru lahir dari gabungan satu atau lebih bentuk dasar dari seni


Seni yang lahir HANYA dengan rupa adalah gambar: lukisan, sketsa, fotografi
Seni yang lahir HANYA dengan gerak adalah pantomim, senam, banyak olah raga
Seni yang lahir HANYA dengan suara adalah musik
Seni yang lahir HANYA dengan diksi adalah literatur: puisi, novel, prosa, pantun
Seni yang lahir HANYA dengan bau adalah perfumerie... seni yang sangat jarang disentuh oleh seniman...
Seni yang lahir HANYA dengan rasa adalah kuliner
Seni yang lahir HANYA dengan waktu adalah seni perang (jika itu bisa disebut seni), stratei pemasaran, beberapa permainan rakyat dan moderen.

Komik lahir dari pernikahan siri diksi dan gambar.
Lagu lahir dari kolaborasi diksi dan suara, dan timing (waktu) tentunya karena ada tempo di dalamnya.
Tari lahir dari hubungan intim musik dan gerak, dan tempo tentunya... kadang rupa diikutkan bila itu adalah tari yang melibatkan kostum yang indah
Sinema lahir dari pertalian rumit antara suara (film bersuara), rupa, tempo, diksi, dan gerak. Tentu saja kompleks.
Kuliner sendiri tak pernah bisa mandiri, dia selalu disertai persyaratan memiliki aroma yang benar, dan rupa yang menarik.

Mengapa tiba-tiba muncul ide untuk memetakan daerah asal para unsur seni ini??? Karena para pelaku seni sering merasa asing satu sama lain, merasa eksklusif dengan komunitasnya, merasa bahwa ia takkan lebur jika bergabung dengan unsur lain. Padahal mereka lupa, dorongan yang membuat mereka menciptakan banyak hal itu sama: segala sesuatu di luar keinginan betahan hidup.

Sungguh ini bukan kecaman. Bukan pula ajakan. Ini sekedar uraian. Apa yang saya lihat. Apa yang saya tangkap. Apa yang saya gatal ingin mengeluarkannya. Tunggu sebentar. (Yah, lewat 200 kata dehhh).

Saya belum hendak memerikan apa yang terjadi jika saya menyinggung manakala seni kawin kontrak dengan dunia di luar ia sendiri: FUNGSI. Lahirlah: furnitur, fesyen, elektronik, facebook, laporan keuangan, tagihan listrik, hingga surat peringatan dan analisa absen bulanan. Sungguh rumit. Dan remeh keberadaannya jika dipandang dari kacamata bertahan hidup. 

Sayang. Sedikit kita yang mau memandang tanpa kacamata bertahan hidup itu.

<Rocketeer Ksatriansyah>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar