Minggu, 19 September 2010

Keadilan: Kesamaan atau Kewajaran

ADILI SRI MULYANI DAN BOEDIONO. Sebuah tulisan grafiti jelek di bilangan kuningan yang kulihat tadi pagi. Maksudnya mungkin: mari kita membawa kasus Bank Century ke pengadilan, dengan Sri Mulyani dan Boediono sebagai tersangka utamanya.

Kata “Adili” terdiri dari kata dasar adil dan akhiran –i. Maknanya, beri keadilan kepada. Hingga sekarang saya sendiri masih bingung gamangnya pemakaian imbuhan di kalangan praktisi omong bangsa Indonesia sendiri. Jika betul idiom tersebut bermakna sebagaimana yang saya kira, maka kalimat itu tentu menjadi seruan yang sangat positif. Beri keadilan kepada si fulan dan si fulanah. Siapa yang tak mau diberi keadilan? Tapi kita tak akan membicarakan diksi kali ini, melainkan tentang adil itu sendiri.

Adil ada dua: kesamaan dan kewajaran. Kesamaan berarti tak adanya perbedaan perlakuan antara semua pihak yang dikenai tindakan, entah itu hukum, pendidikan, hingga ibadah. Kewajaran berarti pemberlakuan penyesuaian sesuai dengan tingkatan yang wajar terhadap perlakuan tersebut. Untuk hal ini, mungkin contohnya, pemberian uang jajan kepada anak SD dan mahasiswa. Pasti berbeda. Kita sudah tidak boleh lagi memaksakan diri hanya menganut salah satu dari sifat adil itu sendiri, karena sifatnya yang dualisme. Pemberlakuan hukum kepada warga negara, harusnya sama (equal). Semua warga negara, dari buruh tani hingga presiden, dari bayi yang baru lahir hingga aki-aki jompo, mendapat perlakuan hukum yang sama. Bahkan, ketika itu menyangkut kasus sebesar dan serumit Century di mana seorang menteri dan wakil presiden terlibat. Tetapi, kacamata kewajaran (fair) pasti akan tetap dipakai. Apakah pada saat itu tindakan itu memang dinilai yang terbaik untuk semua?

Prek! Adili Negara Ini!
(artikel ini juga dikenal dengan judul Justice: Fairness or Equality)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar